Rabu, 04 Agustus 2010

Pendahuluan

Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di
dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20
tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada
tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun
2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25
milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas.
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk
pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan
perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8%
perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun
2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa
ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani dan
lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap
komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan
pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun
bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal
ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau
pekebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan
tanaman secara intensif.

Prospek Dan Peluang Besar

Karet (termasuk karet alam) merupakan kebutuhan yang vital bagi
kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan
barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban
kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal
karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya standar hidup manusia. Kebutuhan karet sintetik relatif
lebih mudah dipenuhi karena sumber bahan baku relatif tersedia walaupun
harganya mahal, akan tetapi karet alam dikonsumsi sebagai bahan baku industri
tetapi diproduksi sebagai komoditi perkebunan.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat pada sepuluh tahun terakhir,
terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin
seperti India, Korea Selatan dan Brazil, memberi dampak pertumbuhan
permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan
karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan
Jepang relatif stagnan.
Menurut perkiraan International Rubber Study Group (IRSG), diperkirakan
akan terjadi kekurangan pasokan karet alam pada periode dua dekade ke depan.
Hal ini menjadi kekuatiran pihak konsumen, terutama pabrik-pabrik ban seperti
Bridgestone, Goodyear dan Michellin. Sehingga pada tahun 2004, IRSG
membentuk Task Force Rubber Eco Project (REP) untuk melakukan studi
tentang permintaan dan penawaran karet sampai dengan tahun 2035.
Hasil studi REP meyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik
dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non
ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada
tahun 2005 diperkirakan 8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan
produksi Indonesia akan mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1%
dan Malaysia -2%. Pertumbuhan produksi untuk Indonesia dapat dicapai melalui
peremajaan atau penaman baru karet yang cukup besar, dengan perkiraan
produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta
ton.
Sejak pertengahan tahun 2002 harga karet mendekati harga US$ 1.00/kg,
dan sampai sekarang ini telah mencapai US$ 1.90kg untuk harga SIR 20 di
SICOM Singapura. Diperkirakan harga akan mencapai US$ 2.00 pada tahun
2007 dan pada jangka panjang sampai 2020 akan tetap stabil, dikarenakan
permintaan yang terus meningkat terutama dari China, India, Brazil dan negaranegara
yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia-Pasifik.